Fungsi dan Komponen Kurikulum
• Pengertian Kurikulum
1. Pengertian Kurikulum Berdasarkan Etimologis
Secara etimologis istilah kurikulum yang dalam bahasa Inggris ditulis “curriculum” berasal dari bahasa Yunani yaitu “curir” yang berarti “pelari”, dan “curere” yang berarti “tempat berpacu”. Tidak heran jika dilihat dari arti harfiahnya, istilah kurikulum tersebut pada awalnya digunakan dalam dunia Olah raga, seperti bisa diperhatikan dari arti “pelari dan tempat berpacu”, yang mengingatkan kita pada jenis olah raga Atletik.
2. Pengertian Kurikulum Berdasarkan Istilah
Berawal dari makna “curir” dan “curere” kurikulum berdasarkan istilah diartikan sebagai “Jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memeroleh medali atau penghargaan”. Pengertian tersebut kemudian diadaptasikan ke dalam dunia pendididikan dan diartikan sebagai “Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal hingga akhir program demi memeroleh ijazah”
3. Kurikulum menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
Menurut UU no. 20 tahun 2003, kurikulum adalah “Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. (Bab I Pasal 1 ayat 19).
B. Peranan dan Fungsi Kurikulum
Peranan kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah sangatlah strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan. Kurikulum memiliki kedudukan dan posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, bahkan kurikulum merupakan syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri. Apabila dirinci secara lebih mendetail peranan kurikulum sangat penting dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan, paling tidak terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu peranan konservatif, peranan kritis atau evaluatif, dan peranan kreatif (Hamalik, 1990).
1. Peranan Konservatif
Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini pada hakikatnya menempatkan kurikulum yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosial. Salah satu tugas pendidikan, yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai dengan nilai-nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakatnya.
2. Peranan Kreatif
Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang. Kurikulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan baru, serta cara berpikir baru yang dibutuhkan dalam
kehidupannya.
3. Peranan Kritis dan Evaluatif
Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu, perkembangan yang terjadi pada masa sekarang dan masa mendatang belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, peranan kurikulum tidak hanya mewariskan nilai dan budaya yang ada atau menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut.
Dalam hal ini, kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan-penyempurnaan. Ketiga peranan kurikulum tersebut harus berjalan secara seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum pendidikan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pendidikan, di antaranya pihak guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, pihak-pihak yang terkait tersebut idealnya dapat memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang diterapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
Sebelum diuraikan lebih jauh, coba Anda pikirkan atau diskusikan apa sebenarnya fungsi kurikulum bagi guru, siswa, kepala sekolah/pengawas, orang tua, dan masyarakat. Jika sudah, perhatikan uraian berikut, kemudian diskusikan dan kembangkan lagi fungsi-fungsi kurikulum tersebut, terutama bagaimana cara untuk mengimplementasikannya di sekolah. Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar-mengajar. Bagi kepala sekolah dan pengawas, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi masyarakat, kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Bagi siswa sendiri, kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar.Berkaitan dengan fungsi kurikulum bagi siswa, dalam literatur lain, Alexander Inglis (dalam Hamalik, 1990) mengemukakan enam fungsi kurikulum sebagai berikut.
1. Fungsi penyesuaian (the adjustive or adaptive function).
2. Fungsi integrasi (the integrating function).
3. Fungsi diferensiasi (the differentiating function).
4. Fungsi persiapan (the propaedeutic function).
5. Fungsi pemilihan (the selective function).
6. Fungsi diagnostik (the diagnostic function).
Fungsi penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well adjusted, yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya. Fungsi diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis, yang harus dihargai dan dilayani dengan baik. Fungsi persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya ia karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi diferensiasi karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel (luwes/lentur).
Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya. Apabila siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi/kekuatan yang dimilikinya atau memperbaiki kelemahan-kelemahannya. Keenam fungsi yang sudah dikemukakan harus dimiliki oleh suatu kurikulum lembaga pendidikan secara menyeluruh (komprehensif). Dengan demikian kurikulum dapat memberikan pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.
C. KOMPONEN KURIKULUM
Mengingat bahwa fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan maka ini berarti ada bagian-bagian terpenting dalam kurikulum agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Bagian terpenting ini disebut komponen. Dari berbagai literatur dikatakan kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan memiliki komponen pokok dan komponen penunjang yang saling berkaitan dan berinteraksi ke arah tercapainya tujuan pendidikan.
Komponen pokok dari kurikulum meliputi: 1) tujuan, 2) materi/isi, 3) strategi pembelajaran, dan 4) evaluasi. Sedangkan yang termasuk komponen penunjang kurikulum adalah sistem administrasi dan supervisi, sistem bimbingan dan penyuluhan, dan sistem evaluasi.
1. Tujuan
Ivor K. Davies (Hasan, 1990) mengemukakan bahwa tujuan dalam suatu kurikulum akan menggambarkan kualitas manusia yang diharapkan terbina dari suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, suatu tujuan memberikan petunjuk mengenai arah perubahan perilaku yang dicita-citakan dari suatu kurikulum yang sifatnya harus merupakan sesuatu yang final. Perhatikan juga pendapat berikut.
a. Tujuan memberikan pegangan mengenai apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukannya, dan merupakan patokan untuk mengetahui hingga mana tujuan itu telah dicapai (Nasution, 1987).
b. Tujuan memegang peranan sangat penting, akan mewarnai komponen-komponen lainnya dan akan mengarahkan semua kegiatan mengajar (Syaodih, 1988).
c. Tujuan kurikulum yang dirumuskan menggambarkan pandangan para pengembang kurikulum mengenai pengetahuan, kemampuan, serta sikap yang ingin dikembangkan (Hasan, 1990). Tujuan yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap pemilihan isi/bahan ajar, strategi, media pembelajaran, dan evaluasi. Bahkan, dalam berbagai model pengembangan kurikulum, tujuan ini dianggap sebagai dasar, arah, dan patokan dalam menentukan komponen-komponen lainnya. Ada ahli kurikulum yang memandang tujuan sebagai proses (process), seperti Bruner dan Fenton (Hasan, 1990). Namun, kebanyakan para ahli memandang tujuan sebagai hasil (product). Gagne dan Briggs (1974) menyatakan bahwa tujuan merupakan suatu kapasitas yang dapat dilakukan dalam waktu tidak lama setelah suatu kegiatan pendidikan berlangsung, bukan merupakan apa yang dialami siswa selama proses pendidikan. R.F. Mager dan K.M. Beach Jr. (1967) mengemukakan bahwa tujuan itu harus menggambarkan produk atau hasil, bukan prosesnya. Terlepas dari masalah apakah sebagai proses ataupun hasil, tujuan kurikulum tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta didasari oleh falsafah dan ideologi suatu negara. Hal ini dapat dimengerti sebab upaya pendidikan itu sendiri merupakan subsistem dalam sistem masyarakat dan negara sehingga kekuatan-kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi sangat berperan dalam menentukan tujuan kurikulum atau tujuan pendidikan, terutama tujuan yang sifatnya umum (nasional).
Di Indonesia, tujuan umum pendidikan atau tujuan pendidikan nasional ditetapkan dalam keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dimuat dalam GBHN dan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan umum tersebut dapat dicapai melalui tujuan-tujuan yang ada di bawahnya yang berfungsi sebagai tujuan perantara (intermedia). Tujuan-tujuan tersebut membentuk suatu hierarki yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Hierarki tujuan tersebut selengkapnya digambarkan sebagai berikut.
Tujuan Pendidikan Nasional adalah tujuan yang ingin dicapai secara nasional yang dilandasi oleh falsafah suatu negara. Sifat tujuan ini ideal, komprehensif, utuh, dan menjadi induk bagi tujuan-tujuan yang ada di bawahnya. Tujuan Institusional adalah tujuan yang diharapkan dicapai oleh suatu lembaga pendidikan, misalnya, tujuan pendidikan pada tingkat SD, SLTP, SMU, SMK dan sebagainya. Tujuan Kurikuler adalah penjabaran dari tujuan institusional yang berisi program-program pendidikan yang menjadi sasaran suatu bidang studi atau mata kuliah, misalnya, tujuan mata pelajaran Matematika, Agama, Bahasa Indonesia, dan sebagainya. Tujuan Instruksional merupakan tujuan tingkat bawah yang harus dicapai setelah suatu proses pembelajaran. Tujuan ini dirinci lagi menjadi tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK). Rumusan tujuan instruksional umum biasanya sudah tercantum dalam GBPP, sedangkan tujuan instruksional khusus harus dirumuskan oleh guru sebagai penjabaran dari TIU Istilah tujuan, dalam literatur asing dikenal dengan nama purposes, aims, goals, objectives, means, dan ends. Zais (1976) dalam hubungannya dengan masalah kurikulum, mengemukakan tiga istilah tujuan, yaitu curriculum aims, curriculum goals, dan curriculum objectives.
Pernyataan-pernyataan dalam curriculum aims lebih menggambarkan tujuan-tujuan hidup/kehidupan yang diharapkan, yang didasarkan pada nilai dan filsafat dan tidak langsung berhubungan dengan sekolah. Zais memberi contoh tujuan ini seperti self-realization, ethical character, dan civic responsibility. Jika diperhatikan, tampaknya tujuan ini sinonim dengan tujuan umum pendidikan atau tujuan pendidikan nasional.
Curriculum goals lebih diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan sekolah atau lembaga pendidikan atau sistem pengajaran, seperti mengembangkan kesanggupan berpikir, penghayatan/apresiasi sastra, pengetahuan warisan budaya, minat terhadap masalah sosial. Tujuan ini hampir sama dengan tujuan institusional dan kurikuler. Curriculum objectives dimaksudkan sebagai tujuan-tujuan khusus pengajaran kelas. Tujuan ini hampir sama dengan tujuan instruksional. Selain istilah yang digunakan oleh Zais di atas, Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) mengungkapkan tujuan kurikulum dengan menggunakan isitilah purposes, general goals, subgoals, objectives, dan spesific objectives. Tujuan pada level pengajaran (instruksional) dirumuskan secara khusus/spesifik dan menekankan pada perilaku siswa. Gagne dan Briggs mengklasifikasikan tujuan-tujuan tersebut ke dalam lima kategori atau domain, yaitu verbal information, attitudes, intellectual skills, motor skills, dan cognitive strategies. Howard Kingleys (Sudjana, 1988) membagi tujuan menjadi tiga kategori, yaitu keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, sikap dan cita-cita. Sementara itu, yang dijadikan dasar perumusan tujuan dalam sistem pendidikan di Indonesia ialah klasifikasi yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom, dkk. Dalam bukunya Taxonomy of Educational Objectives, Bloom membagi tujuan menjadi tiga domain, yaitu cognitive, affective, dan psychomotor. Dalam pelaksanaan kurikulum, ketiga domain tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya. Pratt (Kaber, 1988) mengemukakan tujuh kriteria yang harus dipenuhi dalam merumuskan tujuan kurikulum adalah seperti berikut.
a. Tujuan kurikulum harus menunjukkan hasil belajar yang spesifik dan dapat diamati.
b. Tujuan harus konsisten dengan tujuan kurikulum, artinya, tujuan-tujuan khusus itu dapat mewujudkan dan sejalan dengan tujuan yang lebih umum.
c. Tujuan harus ditulis dengan tepat, bahasanya jelas sehingga dapat memberi gambaran yang jelas bagi para pelaksana kurikulum.Tujuan harus memperlihatkan kelayakan, artinya bahwa tujuan itu bukanlah suatu standar yang mutlak, melainkan harus dapat disesuaikan dengan situasi.
e. Tujuan harus fungsional, artinya, tujuan itu menunjukkan nilai guna bagi para peserta didik dan masyarakat.
f. Tujuan harus signifikan dalam arti bahwa tujuan itu dipilih berdasarkan nilai yang diakui kepentingannya.
g. Tujuan harus tepat dan serasi, terutama harus dilihat dari kepentingan dan kemampuan peserta didik, termasuk latar belakang, minat, dan tingkat perkembangannya.
2. Materi/Isi
Komponen kedua setelah tujuan adalah isi atau materi kurikulum. Pengkajian masalah isi kurikulum ini menempati posisi yang penting dan turut menentukan kualitas suatu kurikulum lembaga pendidikan. Isi kurikulum harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat menunjang tercapainya tujuan kurikulum. Saylor dan Alexander (Zais, 1976) mengemukakan bahwa isi kurikulum meliputi fakta-fakta, observasi, data, persepsi, penginderaan, pemecahan masalah, yang berasal dari pikiran manusia dan pengalamannya yang diatur dan diorganisasikan dalam bentuk gagasan (ideas), konsep (concept), generalisasi (generalization), prinsip-prinsip (principles), dan pemecahan masalah (solution).
Sementara itu, Hyman (Zais, 1976) mendefinisikan isi/konten kurikulum ke dalam tiga elemen, yaitu pengetahuan/knowledge (misalnya fakta-fakta, eksplanasi, prinsip-prinsip, definisi), keterampilan dan proses (misalnya membaca, menulis, menghitung, berpikir kritis, pengambilan keputusan, berkomunikasi), dan nilai/values (misalnya keyakinan tentang baik-buruk, benar-salah, indah-jelek). Sudjana (1988) mengungkapkan secara umum sifat bahan/isi ke dalam beberapa kategori, yaitu: fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan. Fakta adalah sifat dari suatu gejala, peristiwa, benda, yang wujudnya dapat ditangkap oleh pancaindra manusia dan dapat dipelajari melalui informasi dalam bentuk lambang, kata-kata, istilah-istilah, dan sebagainya. Konsep atau pengertian adalah serangkaian perangsang yang mempunyai sifat-sifat yang sama. Suatu konsep dibentuk melalui pola unsur bersama di antara anggota kumpulan atau rangkaian. Dengan demikian, hakikat konsep adalah klasifikasi dari pola yang bersamaan. Prinsip adalah pola antarhubungan fungsional di antara konsep. Dengan kata lain, prinsipmerupakan hubungan fungsional dari beberapa konsep. Keterampilan adalah pola kegiatan yang bertujuan, yang memerlukan manipulasi dan koordinasi informasi yang dipelajari. Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu keterampilan fisik dan keterampilan intelektual.Sebenarnya, sangat banyak hal (pengetahuan, keterampilan, dan nilai) yang perlu diberikan kepada siswa, namun tidak mungkin semuanya dijadikan sebagai isi kurikulum. Oleh karena itu perlu diadakan pilihan-pilihan (choices). Karena banyaknya pilihan materi kurikulum tersebut maka kurikulum pada hakikatnya adalah a matter of choices (Nasution, 1987). Untuk menentukan isi/bahan mana yang sangat esensial dijadikan sebagai isi kurikulum tersebut, diperlukan berbagai kriteria.
Berikut ini diuraikan beberapa kriteria menurut tiga orang ahli kurikulum. Perhatikan dan cermatii.
Zais (1976) menentukan empat kriteria dalam melakukan pemilihan isi/materi kurikulum, yaitu sebagai berikut.
a. Isi kurikulum memiliki tingkat kebermaknaan yang tinggi (significance).
b. Isi kurikulum bernilai guna bagi kehidupan (utility).
c. Isi kurikulum sesuai dengan minat siswa (interest).
d. Isi kurikulum harus sesuai dengan perkembangan individu (human development).
Hilda Taba menetapkan kriteria sebagai berikut.
a. Isi kurikulum harus valid (sahih) dan signifikan.
b. Isi kurikulum berpegang kepada kenyataan-kenyataan sosial.
c. Kedalaman dan keluasan isi kurikulum harus seimbang.
d. Isi kurikulum menjangkau tujuan yang luas, meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
e. Isi kurikulum harus dapat dipelajari dan disesuaikan dengan pengalaman siswa.
f. Isi kurikulum harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik minat siswa.
Ronald C. Doll (1974) juga mengemukakan beberapa kriteria pemilihan isi kurikulum sebagai berikut.
a. Validitas dan signifikansi bahan (subject matter) sebagai disiplin ilmu.
b. Keseimbangan ruang lingkup bahan (scope) dan kedalamannya (depth).
c. Kesesuaian dengan kebutuhan dan minat siswa.
d. Daya tahan (durability) bahan.
e. Hubungan logis bahan antara ide pokok (main ideas) dan konsep dasar (basic concept).
f. Kemampuan siswa mempelajari bahan tersebut.
g. Kemungkinan menjelaskan bahan itu dengan data dari disiplin ilmu lain.
Dalam mengkaji isi atau materi kurikulum ini, kita sering dihadapkan pada masalah scope dan sequence. Scope atau ruang lingkup isi kurikulum dimaksudkan untuk menyatakan keluasan dan kedalaman bahan, sedangkan sequence menyangkut urutan (order) isi kurikulum. Menurut S. Nasution (1987), pengurutan bahan kurikulum tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Urutan secara kronologis, yaitu menurut terjadinya suatu peristiwa.
b. Urutan secara logis yang dilakukan menurut logika.
c. Urutan bahan dari sederhana menuju yang lebih kompleks.
d. Urutan bahan dari mudah menuju yang lebih sulit.
e. Urutan bahan dari spesifik menuju yang lebih umum.
f. Urutan bahan berdasarkan psikologi unsur, yaitu dari bagian-bagian kepada keseluruhan.
g. Urutan bahan berdasarkan Psikologi Gestalt, yaitu dari keseluruhan menuju bagian-bagian.
Sejalan dengan pendapat tersebut Sukmadinata (1988), berdasarkan beberapa sumber, mengungkapkan beberapa cara menyusun sekuen bahan kurikulum sebagai berikut.
a. Urutan kronologis, yaitu untuk mengurutkan bahan ajar yang mengandung urutan waktu, seperti peristiwa-peristiwa sejarah, penemuan-penemuan, dan sebagainya.
b. Urutan kausal, yaitu urutan bahan ajar yang mengandung sebab-akibat.
c. Urutan struktural, yaitu urutan bahan ajar yang disesuaikan dengan strukturnya.
d. Urutan logis dan psikologis, yaitu urutan bahan ajar yang disusun dari yang sederhana kepada yang rumit/kompleks (logis) dan dari yang rumit/kompleks kepada yang sederhana (psikologis).
e. Urutan spiral, yaitu urutan bahan ajar yang dipusatkan pada topik-topik tertentu, kemudian diperluas dan diperdalam.
F .Urutan rangkaian ke belakang, yaitu urutan bahan ajar yang dimulai dari langkah terakhir, kemudian mundur ke belakang.
g. Urutan berdasarkan hierarki belajar, yaitu urutan bahan yang menggambarkan urutan perilaku yang mula-mula harus dikuasai siswa, berturut-turut sampai perilaku terakhir.
Penetapan sekuen atau urutan mana yang akan dipilih tampaknya sangat tergantung pada sifat-sifat materi/isi kurikulum sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, juga harus memiliki konsistensi dengan tujuan yang telah dirumuskan.
3. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran sangat penting dikaji dalam studi tentang kurikulum, baik secara makro maupun mikro. Strategi pembelajaran ini berkaitan dengan masalah cara atau sistem penyampaian isi kurikulum (delivery system) dalam rangka pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Pengertian strategi pembelajaran dalam hal ini meliputi pendekatan, prosedur, metode, model, dan teknik yang digunakan dalam menyajikan bahan/isi kurikulum. Sudjana (1988) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran pada hakikatnya adalah tindakan nyata dari guru dalam melaksanakan pembelajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektifdan lebih efisien. Dengan kata lain, strategi berhubungan dengan siasat atau taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan kurikulum secara sistemik dan sistematik. Sistemik mengandung arti adanya saling keterkaitan di antara komponen kurikulum sehingga terorganisasikan secara terpadu dalam mencapai tujuan, sedangkan sistematik mengandung pengertian bahwa langkah-langkah yang dilakukan guru harus berurutan sehingga mendukung tercapainya tujuan.Tinggi rendahnya kadar aktivitas belajar siswa banyak dipengaruhi oleh strategi atau pendekatan mengajar yang digunakan. Banyak pendapat mengenai berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam penyampaian bahan/isi kurikulum ini. Richard Anderson (Sudjana, 1990) mengajukan dua pendekatan, yaitu pendekatan yang berorientasi pada guru, di mana aktivitas guru dalam suatu proses pembelajaran lebih dominan dibandingkan siswa.
Pendekatan ini bersifat teacher centered. Pendekatan kedua lebih berorientasi pada siswa. Pendekatan ini bersifat student centered yang merupakan kebalikan dari pendekatan pertama, di mana aktivitas siswa dalam proses pembelajaran lebih dominan dibandingkan guru. Pendekatan pertama disebut pula tipe otokratis dan pendekatan kedua disebut tipe demokratis. Massialas (Sudjana, 1990) mengajukan dua pendekatan, yaitu pendekatan ekspositori dan pendekatan inkuiri. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Sudjana (1990) menghasilkan lima macam model berkadar CBSA, yaitu model delikan (dengar-lihat-kerjakan), model pemecahan masalah, model induktif, model deduktif, dan model deduktif-induktif. Bruce Joyce dan Marsha Weil (1980) dalam bukunya yang terkenal (Models of Teaching), mengemukakan empat kelompok atau rumpun model, yaitu model pemrosesan informasi (information processing models), model personal, model interaksi sosial, dan model tingkah laku (behavioral models). Setiap rumpun model tersebut mengandung enam komponen umum, yaitu orientasi, sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem bantuan (support system), dan efek instruksional.Apabila ditelaah lebih jauh, hakikat dan isi dari setiap strategi/pendekatan/model yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kutub strategi yang ekstrim, yaitu strategi yang berorientasi kepada guru dan strategi yang berorientasi kepada siswa. Strategi pertama maksudnya bahwa titik berat kegiatan banyak berpusat pada guru (biasa disebut model ekspositori atau model informasi). Sedangkan pada strategi kedua, titik berat aktivitas pembelajaran ada pada para siswa sehingga mereka lebih aktif melakukan kegiatan belajar (biasa disebut model inkuiri atau problem solving). Strategi mana yang digunakan atau dipilih biasanya diserahkan sepenuhnya kepada guru dengan mempertimbangkan hakikat tujuan, sifat bahan/isi, dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
4. Evaluasi
Komponen evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan, serta menilai proses implementasi kurikulum secara keseluruhan, termasuk juga menilai kegiatan evaluasi itu sendiri. Hasil dari kegiatan evaluasi dapat dijadikan sebagai umpan balik (feedback) untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan pengembangan komponen-komponen kurikulum. Pada akhirnya hasil evaluasi ini dapat berperan sebagai masukan bagi penentuan kebijakan-kebijakan dalam pengambilan keputusan kurikulum khususnya, dan pendidikan pada umumnya, baik bagi para pengembang kurikulum dan para pemegang kebijakan pendidikan, maupun bagi para pelaksana kurikulum pada tingkat lembaga pendidikan (seperti guru dan kepala sekolah).
Pada awal perkembangannya, konsep evaluasi banyak sekali dipengaruhi secara dominan oleh konsep pengukuran (measurement). Salah satunya adalah konsep yang dikemukakan oleh Ralph W. Tyler (1975). Ia mengungkapkan bahwa proses evaluasi merupakan proses yang sangat esensial guna mengetahui apakah tujuan (objectives) secara nyata telah terealisasikan. Sementara itu, Hilda Taba (1962) juga berpendapat bahwa secara prinsipil yang menjadi fokus dari evaluasi adalah tingkatan di mana siswa mencapai tujuan. Pengertian-pengertian evaluasi tersebut lebih diarahkan atau berorientasi kepada perubahan perilaku, dan lebih mementingkan hasil atau produk belajar, kurang memperhatikan proses dan kondisi-kondisi belajar yang mempengaruhi hasil belajar.
Menurut Hasan (1988), pengertian evaluasi seperti itu sudah dianggap tidak lagi memenuhi makna evaluasi yang sesungguhnya. Apa yang dikemukakan Tyler mengenai perubahan tingkah laku siswa hanyalah merupakan salah satu aspek kajian evaluasi, baik evaluasi pendidikan maupun evaluasi kurikulum. Perkembangan selanjutnya dari konsep evaluasi ini, menurut Hasan (1988), berpegang pada satu konsep dasar, yaitu adanya pertimbangan (judgement). Dengan pertimbangan inilah ditentukan nilai (worth/merit) dari sesuatu yang sedang dievaluasi. Tanpa pemberian pertimbangan bukanlah suatu kegiatan evaluasi. Dengan demikian, pengertian evaluasi harus diarahkan pada suatu proses pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti dari sesuatu yang dipertimbangkan. Sesuatu yang dipertimbangkan tersebut bisa berupa orang, benda, kegiatan, keadaan, atau suatu kesatuan tertentu. Pemberian pertimbangan tersebut haruslah berdasarkan kriteria tertentu, baik dari penilai itu sendiri maupun dari luar penilai. Dari pengertian tersebut, evaluasi lebih dianggap sebagai suatu proses, bukan suatu hasil (produk).Apabila diperhatikan, tampaknya konsep evaluasi sebagai suatu proses pemberian pertimbangan tentang nilai dan arti ini dalam pelaksanaannya masih belum terealisasikan sebagaimana mestinya. Kegiatan evaluasi yang dilaksanakan, terutama di Indonesia, masih menekankan pada evaluasi terhadap hasil (produk). Hal ini sejalan dengan pendapat Zais (1976) bahwa dewasa ini penekanan evaluasi selalu dipusatkan pada evaluasi hasil (product evaluation) yang dicapai oleh siswa. Menurutnya, hal tersebut didasarkan pada model teknik (technical model) dalam pengembangan kurikulum, di mana siswa dianggap sebagai raw material.
Konsep evaluasi kurikulum dapat dipandang secara luas, yaitu mencakup evaluasi terhadap seluruh komponen dan kegiatan pendidikan, tetapi dapat pula dibatasi secara sempit yang hanya ditekankan pada hasil-hasil atau perilaku yang dicapai siswa. Luas atau sempitnya suatu evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuannya. Jadi, dalam hal ini yang menjadi penentu adalah faktor tujuan yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald C. Doll (1974) yang menyatakan bahwa orientasi terhadap tujuan merupakan salah satu syarat atau karakteristik dari evaluasi.
Karakteristik lainnya, yaitu: dinyatakan dalam bentuk nilai-nilai (values and valuing), mencakup keseluruhan (comprehensiveness), berkelanjutan(continuity), memiliki nilai diagnostik dan kesahihan (diagnostic worth and validity) dan evaluasi tersebut harus terintegrasi atau utuh, bukan sesuatu yang lepas-lepas (integration).Pada bagian lainnya, Doll mengemukakan dua dimensi yang harus ada dalam evaluasi kurikulum, yaitu dimensi kuantitas (the dimension of quantity) dan dimensi kualitas (the dimension of quality). Dimensi pertama berhubungan dengan berapa banyak program-program yang dievaluasi, sedangkan dimensi kedua berhubungan dengan tujuan-tujuan apa saja yang disoroti dalam evaluasi dan bagaimana kualitas dari pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Kemudian, di dalam proses evaluasinya Doll mengungkapkan tiga variabel, yaitu variabel input (karakteristik siswa), variabel output (apa yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran), dan variabel treatment (metode mengajar, materi pelajaran, ukuran kelas, karakteristik siswa, dan karakteristik guru). Ketiga kelompok variabel tersebut saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif mengenai kualitas suatu kurikulum yang dievaluasi, terdapat beberapa komponen atau dimensi yang perlu dijadikan sasaran atau lingkup evaluasi. Sudjana dan Ibrahim (1989) dalam hal ini mengemukakan tiga komponen, yaitu komponen program pendidikan, komponen proses pelaksanaan, dan komponen hasil-hasil yang dicapai. Suatu program pendidikan dinilai dari tujuan yang ingin dicapai, isi program yang disajikan, strategi pembelajaran yang diterapkan, serta bahan-bahan ajar yang digunakan. Proses pelaksanaan yang dijadikan sasaran penilaian/evaluasi terutama proses pembelajaran yang berlangsung di lapangan. Sedangkan hasil-hasil yang dicapai mengacu pada pencapaian tujuan jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari paparan diatas, didapatkan permasalahan. Pada fungsi kurikulum dikatakan bahwa bagi orang tua kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya di rumah. Nah, apakah orang tua hanya sekedar diberitahu mengenai kurikulum tanpa ada penjelasan khusus mengenai isi dari kurikulum (misal K13), lalu apa solusi dari teman-teman agar penyampaian K13 ini bisa menyeluruh ke berbagai pihak? Karna jika yang megetahui kurikulum ini hanya siswa, guru dan sekolah kurikulum ini tidak akan efektif.. Dan dari penjelasan mengenai komponen kurikulum pada bagian tujuan, Tujuan harus tepat dan serasi, terutama harus dilihat dari kepentingan dan kemampuan peserta didik, termasuk latar belakang, minat, dan tingkat perkembangannya. Bagaimana cara kita membuat agar pola pikir siswa yang memiliki latar belakang dan minat yang banyak berbeda bisa sesuai dengan yang tujuan tersebut?.
1. Pengertian Kurikulum Berdasarkan Etimologis
Secara etimologis istilah kurikulum yang dalam bahasa Inggris ditulis “curriculum” berasal dari bahasa Yunani yaitu “curir” yang berarti “pelari”, dan “curere” yang berarti “tempat berpacu”. Tidak heran jika dilihat dari arti harfiahnya, istilah kurikulum tersebut pada awalnya digunakan dalam dunia Olah raga, seperti bisa diperhatikan dari arti “pelari dan tempat berpacu”, yang mengingatkan kita pada jenis olah raga Atletik.
2. Pengertian Kurikulum Berdasarkan Istilah
Berawal dari makna “curir” dan “curere” kurikulum berdasarkan istilah diartikan sebagai “Jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memeroleh medali atau penghargaan”. Pengertian tersebut kemudian diadaptasikan ke dalam dunia pendididikan dan diartikan sebagai “Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal hingga akhir program demi memeroleh ijazah”
3. Kurikulum menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
Menurut UU no. 20 tahun 2003, kurikulum adalah “Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. (Bab I Pasal 1 ayat 19).
B. Peranan dan Fungsi Kurikulum
Peranan kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah sangatlah strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan. Kurikulum memiliki kedudukan dan posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, bahkan kurikulum merupakan syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri. Apabila dirinci secara lebih mendetail peranan kurikulum sangat penting dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan, paling tidak terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu peranan konservatif, peranan kritis atau evaluatif, dan peranan kreatif (Hamalik, 1990).
1. Peranan Konservatif
Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini pada hakikatnya menempatkan kurikulum yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosial. Salah satu tugas pendidikan, yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai dengan nilai-nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakatnya.
2. Peranan Kreatif
Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang. Kurikulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan baru, serta cara berpikir baru yang dibutuhkan dalam
kehidupannya.
3. Peranan Kritis dan Evaluatif
Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu, perkembangan yang terjadi pada masa sekarang dan masa mendatang belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, peranan kurikulum tidak hanya mewariskan nilai dan budaya yang ada atau menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut.
Dalam hal ini, kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan-penyempurnaan. Ketiga peranan kurikulum tersebut harus berjalan secara seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum pendidikan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pendidikan, di antaranya pihak guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, pihak-pihak yang terkait tersebut idealnya dapat memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang diterapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
Sebelum diuraikan lebih jauh, coba Anda pikirkan atau diskusikan apa sebenarnya fungsi kurikulum bagi guru, siswa, kepala sekolah/pengawas, orang tua, dan masyarakat. Jika sudah, perhatikan uraian berikut, kemudian diskusikan dan kembangkan lagi fungsi-fungsi kurikulum tersebut, terutama bagaimana cara untuk mengimplementasikannya di sekolah. Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar-mengajar. Bagi kepala sekolah dan pengawas, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi masyarakat, kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Bagi siswa sendiri, kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar.Berkaitan dengan fungsi kurikulum bagi siswa, dalam literatur lain, Alexander Inglis (dalam Hamalik, 1990) mengemukakan enam fungsi kurikulum sebagai berikut.
1. Fungsi penyesuaian (the adjustive or adaptive function).
2. Fungsi integrasi (the integrating function).
3. Fungsi diferensiasi (the differentiating function).
4. Fungsi persiapan (the propaedeutic function).
5. Fungsi pemilihan (the selective function).
6. Fungsi diagnostik (the diagnostic function).
Fungsi penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well adjusted, yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya. Fungsi diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis, yang harus dihargai dan dilayani dengan baik. Fungsi persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya ia karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi diferensiasi karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel (luwes/lentur).
Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya. Apabila siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi/kekuatan yang dimilikinya atau memperbaiki kelemahan-kelemahannya. Keenam fungsi yang sudah dikemukakan harus dimiliki oleh suatu kurikulum lembaga pendidikan secara menyeluruh (komprehensif). Dengan demikian kurikulum dapat memberikan pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.
C. KOMPONEN KURIKULUM
Mengingat bahwa fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan maka ini berarti ada bagian-bagian terpenting dalam kurikulum agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Bagian terpenting ini disebut komponen. Dari berbagai literatur dikatakan kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan memiliki komponen pokok dan komponen penunjang yang saling berkaitan dan berinteraksi ke arah tercapainya tujuan pendidikan.
Komponen pokok dari kurikulum meliputi: 1) tujuan, 2) materi/isi, 3) strategi pembelajaran, dan 4) evaluasi. Sedangkan yang termasuk komponen penunjang kurikulum adalah sistem administrasi dan supervisi, sistem bimbingan dan penyuluhan, dan sistem evaluasi.
1. Tujuan
Ivor K. Davies (Hasan, 1990) mengemukakan bahwa tujuan dalam suatu kurikulum akan menggambarkan kualitas manusia yang diharapkan terbina dari suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, suatu tujuan memberikan petunjuk mengenai arah perubahan perilaku yang dicita-citakan dari suatu kurikulum yang sifatnya harus merupakan sesuatu yang final. Perhatikan juga pendapat berikut.
a. Tujuan memberikan pegangan mengenai apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukannya, dan merupakan patokan untuk mengetahui hingga mana tujuan itu telah dicapai (Nasution, 1987).
b. Tujuan memegang peranan sangat penting, akan mewarnai komponen-komponen lainnya dan akan mengarahkan semua kegiatan mengajar (Syaodih, 1988).
c. Tujuan kurikulum yang dirumuskan menggambarkan pandangan para pengembang kurikulum mengenai pengetahuan, kemampuan, serta sikap yang ingin dikembangkan (Hasan, 1990). Tujuan yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap pemilihan isi/bahan ajar, strategi, media pembelajaran, dan evaluasi. Bahkan, dalam berbagai model pengembangan kurikulum, tujuan ini dianggap sebagai dasar, arah, dan patokan dalam menentukan komponen-komponen lainnya. Ada ahli kurikulum yang memandang tujuan sebagai proses (process), seperti Bruner dan Fenton (Hasan, 1990). Namun, kebanyakan para ahli memandang tujuan sebagai hasil (product). Gagne dan Briggs (1974) menyatakan bahwa tujuan merupakan suatu kapasitas yang dapat dilakukan dalam waktu tidak lama setelah suatu kegiatan pendidikan berlangsung, bukan merupakan apa yang dialami siswa selama proses pendidikan. R.F. Mager dan K.M. Beach Jr. (1967) mengemukakan bahwa tujuan itu harus menggambarkan produk atau hasil, bukan prosesnya. Terlepas dari masalah apakah sebagai proses ataupun hasil, tujuan kurikulum tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta didasari oleh falsafah dan ideologi suatu negara. Hal ini dapat dimengerti sebab upaya pendidikan itu sendiri merupakan subsistem dalam sistem masyarakat dan negara sehingga kekuatan-kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi sangat berperan dalam menentukan tujuan kurikulum atau tujuan pendidikan, terutama tujuan yang sifatnya umum (nasional).
Di Indonesia, tujuan umum pendidikan atau tujuan pendidikan nasional ditetapkan dalam keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dimuat dalam GBHN dan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan umum tersebut dapat dicapai melalui tujuan-tujuan yang ada di bawahnya yang berfungsi sebagai tujuan perantara (intermedia). Tujuan-tujuan tersebut membentuk suatu hierarki yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Hierarki tujuan tersebut selengkapnya digambarkan sebagai berikut.
Tujuan Pendidikan Nasional adalah tujuan yang ingin dicapai secara nasional yang dilandasi oleh falsafah suatu negara. Sifat tujuan ini ideal, komprehensif, utuh, dan menjadi induk bagi tujuan-tujuan yang ada di bawahnya. Tujuan Institusional adalah tujuan yang diharapkan dicapai oleh suatu lembaga pendidikan, misalnya, tujuan pendidikan pada tingkat SD, SLTP, SMU, SMK dan sebagainya. Tujuan Kurikuler adalah penjabaran dari tujuan institusional yang berisi program-program pendidikan yang menjadi sasaran suatu bidang studi atau mata kuliah, misalnya, tujuan mata pelajaran Matematika, Agama, Bahasa Indonesia, dan sebagainya. Tujuan Instruksional merupakan tujuan tingkat bawah yang harus dicapai setelah suatu proses pembelajaran. Tujuan ini dirinci lagi menjadi tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK). Rumusan tujuan instruksional umum biasanya sudah tercantum dalam GBPP, sedangkan tujuan instruksional khusus harus dirumuskan oleh guru sebagai penjabaran dari TIU Istilah tujuan, dalam literatur asing dikenal dengan nama purposes, aims, goals, objectives, means, dan ends. Zais (1976) dalam hubungannya dengan masalah kurikulum, mengemukakan tiga istilah tujuan, yaitu curriculum aims, curriculum goals, dan curriculum objectives.
Pernyataan-pernyataan dalam curriculum aims lebih menggambarkan tujuan-tujuan hidup/kehidupan yang diharapkan, yang didasarkan pada nilai dan filsafat dan tidak langsung berhubungan dengan sekolah. Zais memberi contoh tujuan ini seperti self-realization, ethical character, dan civic responsibility. Jika diperhatikan, tampaknya tujuan ini sinonim dengan tujuan umum pendidikan atau tujuan pendidikan nasional.
Curriculum goals lebih diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan sekolah atau lembaga pendidikan atau sistem pengajaran, seperti mengembangkan kesanggupan berpikir, penghayatan/apresiasi sastra, pengetahuan warisan budaya, minat terhadap masalah sosial. Tujuan ini hampir sama dengan tujuan institusional dan kurikuler. Curriculum objectives dimaksudkan sebagai tujuan-tujuan khusus pengajaran kelas. Tujuan ini hampir sama dengan tujuan instruksional. Selain istilah yang digunakan oleh Zais di atas, Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) mengungkapkan tujuan kurikulum dengan menggunakan isitilah purposes, general goals, subgoals, objectives, dan spesific objectives. Tujuan pada level pengajaran (instruksional) dirumuskan secara khusus/spesifik dan menekankan pada perilaku siswa. Gagne dan Briggs mengklasifikasikan tujuan-tujuan tersebut ke dalam lima kategori atau domain, yaitu verbal information, attitudes, intellectual skills, motor skills, dan cognitive strategies. Howard Kingleys (Sudjana, 1988) membagi tujuan menjadi tiga kategori, yaitu keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, sikap dan cita-cita. Sementara itu, yang dijadikan dasar perumusan tujuan dalam sistem pendidikan di Indonesia ialah klasifikasi yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom, dkk. Dalam bukunya Taxonomy of Educational Objectives, Bloom membagi tujuan menjadi tiga domain, yaitu cognitive, affective, dan psychomotor. Dalam pelaksanaan kurikulum, ketiga domain tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya. Pratt (Kaber, 1988) mengemukakan tujuh kriteria yang harus dipenuhi dalam merumuskan tujuan kurikulum adalah seperti berikut.
a. Tujuan kurikulum harus menunjukkan hasil belajar yang spesifik dan dapat diamati.
b. Tujuan harus konsisten dengan tujuan kurikulum, artinya, tujuan-tujuan khusus itu dapat mewujudkan dan sejalan dengan tujuan yang lebih umum.
c. Tujuan harus ditulis dengan tepat, bahasanya jelas sehingga dapat memberi gambaran yang jelas bagi para pelaksana kurikulum.Tujuan harus memperlihatkan kelayakan, artinya bahwa tujuan itu bukanlah suatu standar yang mutlak, melainkan harus dapat disesuaikan dengan situasi.
e. Tujuan harus fungsional, artinya, tujuan itu menunjukkan nilai guna bagi para peserta didik dan masyarakat.
f. Tujuan harus signifikan dalam arti bahwa tujuan itu dipilih berdasarkan nilai yang diakui kepentingannya.
g. Tujuan harus tepat dan serasi, terutama harus dilihat dari kepentingan dan kemampuan peserta didik, termasuk latar belakang, minat, dan tingkat perkembangannya.
2. Materi/Isi
Komponen kedua setelah tujuan adalah isi atau materi kurikulum. Pengkajian masalah isi kurikulum ini menempati posisi yang penting dan turut menentukan kualitas suatu kurikulum lembaga pendidikan. Isi kurikulum harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat menunjang tercapainya tujuan kurikulum. Saylor dan Alexander (Zais, 1976) mengemukakan bahwa isi kurikulum meliputi fakta-fakta, observasi, data, persepsi, penginderaan, pemecahan masalah, yang berasal dari pikiran manusia dan pengalamannya yang diatur dan diorganisasikan dalam bentuk gagasan (ideas), konsep (concept), generalisasi (generalization), prinsip-prinsip (principles), dan pemecahan masalah (solution).
Sementara itu, Hyman (Zais, 1976) mendefinisikan isi/konten kurikulum ke dalam tiga elemen, yaitu pengetahuan/knowledge (misalnya fakta-fakta, eksplanasi, prinsip-prinsip, definisi), keterampilan dan proses (misalnya membaca, menulis, menghitung, berpikir kritis, pengambilan keputusan, berkomunikasi), dan nilai/values (misalnya keyakinan tentang baik-buruk, benar-salah, indah-jelek). Sudjana (1988) mengungkapkan secara umum sifat bahan/isi ke dalam beberapa kategori, yaitu: fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan. Fakta adalah sifat dari suatu gejala, peristiwa, benda, yang wujudnya dapat ditangkap oleh pancaindra manusia dan dapat dipelajari melalui informasi dalam bentuk lambang, kata-kata, istilah-istilah, dan sebagainya. Konsep atau pengertian adalah serangkaian perangsang yang mempunyai sifat-sifat yang sama. Suatu konsep dibentuk melalui pola unsur bersama di antara anggota kumpulan atau rangkaian. Dengan demikian, hakikat konsep adalah klasifikasi dari pola yang bersamaan. Prinsip adalah pola antarhubungan fungsional di antara konsep. Dengan kata lain, prinsipmerupakan hubungan fungsional dari beberapa konsep. Keterampilan adalah pola kegiatan yang bertujuan, yang memerlukan manipulasi dan koordinasi informasi yang dipelajari. Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu keterampilan fisik dan keterampilan intelektual.Sebenarnya, sangat banyak hal (pengetahuan, keterampilan, dan nilai) yang perlu diberikan kepada siswa, namun tidak mungkin semuanya dijadikan sebagai isi kurikulum. Oleh karena itu perlu diadakan pilihan-pilihan (choices). Karena banyaknya pilihan materi kurikulum tersebut maka kurikulum pada hakikatnya adalah a matter of choices (Nasution, 1987). Untuk menentukan isi/bahan mana yang sangat esensial dijadikan sebagai isi kurikulum tersebut, diperlukan berbagai kriteria.
Berikut ini diuraikan beberapa kriteria menurut tiga orang ahli kurikulum. Perhatikan dan cermatii.
Zais (1976) menentukan empat kriteria dalam melakukan pemilihan isi/materi kurikulum, yaitu sebagai berikut.
a. Isi kurikulum memiliki tingkat kebermaknaan yang tinggi (significance).
b. Isi kurikulum bernilai guna bagi kehidupan (utility).
c. Isi kurikulum sesuai dengan minat siswa (interest).
d. Isi kurikulum harus sesuai dengan perkembangan individu (human development).
Hilda Taba menetapkan kriteria sebagai berikut.
a. Isi kurikulum harus valid (sahih) dan signifikan.
b. Isi kurikulum berpegang kepada kenyataan-kenyataan sosial.
c. Kedalaman dan keluasan isi kurikulum harus seimbang.
d. Isi kurikulum menjangkau tujuan yang luas, meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
e. Isi kurikulum harus dapat dipelajari dan disesuaikan dengan pengalaman siswa.
f. Isi kurikulum harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik minat siswa.
Ronald C. Doll (1974) juga mengemukakan beberapa kriteria pemilihan isi kurikulum sebagai berikut.
a. Validitas dan signifikansi bahan (subject matter) sebagai disiplin ilmu.
b. Keseimbangan ruang lingkup bahan (scope) dan kedalamannya (depth).
c. Kesesuaian dengan kebutuhan dan minat siswa.
d. Daya tahan (durability) bahan.
e. Hubungan logis bahan antara ide pokok (main ideas) dan konsep dasar (basic concept).
f. Kemampuan siswa mempelajari bahan tersebut.
g. Kemungkinan menjelaskan bahan itu dengan data dari disiplin ilmu lain.
Dalam mengkaji isi atau materi kurikulum ini, kita sering dihadapkan pada masalah scope dan sequence. Scope atau ruang lingkup isi kurikulum dimaksudkan untuk menyatakan keluasan dan kedalaman bahan, sedangkan sequence menyangkut urutan (order) isi kurikulum. Menurut S. Nasution (1987), pengurutan bahan kurikulum tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Urutan secara kronologis, yaitu menurut terjadinya suatu peristiwa.
b. Urutan secara logis yang dilakukan menurut logika.
c. Urutan bahan dari sederhana menuju yang lebih kompleks.
d. Urutan bahan dari mudah menuju yang lebih sulit.
e. Urutan bahan dari spesifik menuju yang lebih umum.
f. Urutan bahan berdasarkan psikologi unsur, yaitu dari bagian-bagian kepada keseluruhan.
g. Urutan bahan berdasarkan Psikologi Gestalt, yaitu dari keseluruhan menuju bagian-bagian.
Sejalan dengan pendapat tersebut Sukmadinata (1988), berdasarkan beberapa sumber, mengungkapkan beberapa cara menyusun sekuen bahan kurikulum sebagai berikut.
a. Urutan kronologis, yaitu untuk mengurutkan bahan ajar yang mengandung urutan waktu, seperti peristiwa-peristiwa sejarah, penemuan-penemuan, dan sebagainya.
b. Urutan kausal, yaitu urutan bahan ajar yang mengandung sebab-akibat.
c. Urutan struktural, yaitu urutan bahan ajar yang disesuaikan dengan strukturnya.
d. Urutan logis dan psikologis, yaitu urutan bahan ajar yang disusun dari yang sederhana kepada yang rumit/kompleks (logis) dan dari yang rumit/kompleks kepada yang sederhana (psikologis).
e. Urutan spiral, yaitu urutan bahan ajar yang dipusatkan pada topik-topik tertentu, kemudian diperluas dan diperdalam.
F .Urutan rangkaian ke belakang, yaitu urutan bahan ajar yang dimulai dari langkah terakhir, kemudian mundur ke belakang.
g. Urutan berdasarkan hierarki belajar, yaitu urutan bahan yang menggambarkan urutan perilaku yang mula-mula harus dikuasai siswa, berturut-turut sampai perilaku terakhir.
Penetapan sekuen atau urutan mana yang akan dipilih tampaknya sangat tergantung pada sifat-sifat materi/isi kurikulum sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, juga harus memiliki konsistensi dengan tujuan yang telah dirumuskan.
3. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran sangat penting dikaji dalam studi tentang kurikulum, baik secara makro maupun mikro. Strategi pembelajaran ini berkaitan dengan masalah cara atau sistem penyampaian isi kurikulum (delivery system) dalam rangka pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Pengertian strategi pembelajaran dalam hal ini meliputi pendekatan, prosedur, metode, model, dan teknik yang digunakan dalam menyajikan bahan/isi kurikulum. Sudjana (1988) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran pada hakikatnya adalah tindakan nyata dari guru dalam melaksanakan pembelajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektifdan lebih efisien. Dengan kata lain, strategi berhubungan dengan siasat atau taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan kurikulum secara sistemik dan sistematik. Sistemik mengandung arti adanya saling keterkaitan di antara komponen kurikulum sehingga terorganisasikan secara terpadu dalam mencapai tujuan, sedangkan sistematik mengandung pengertian bahwa langkah-langkah yang dilakukan guru harus berurutan sehingga mendukung tercapainya tujuan.Tinggi rendahnya kadar aktivitas belajar siswa banyak dipengaruhi oleh strategi atau pendekatan mengajar yang digunakan. Banyak pendapat mengenai berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam penyampaian bahan/isi kurikulum ini. Richard Anderson (Sudjana, 1990) mengajukan dua pendekatan, yaitu pendekatan yang berorientasi pada guru, di mana aktivitas guru dalam suatu proses pembelajaran lebih dominan dibandingkan siswa.
Pendekatan ini bersifat teacher centered. Pendekatan kedua lebih berorientasi pada siswa. Pendekatan ini bersifat student centered yang merupakan kebalikan dari pendekatan pertama, di mana aktivitas siswa dalam proses pembelajaran lebih dominan dibandingkan guru. Pendekatan pertama disebut pula tipe otokratis dan pendekatan kedua disebut tipe demokratis. Massialas (Sudjana, 1990) mengajukan dua pendekatan, yaitu pendekatan ekspositori dan pendekatan inkuiri. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Sudjana (1990) menghasilkan lima macam model berkadar CBSA, yaitu model delikan (dengar-lihat-kerjakan), model pemecahan masalah, model induktif, model deduktif, dan model deduktif-induktif. Bruce Joyce dan Marsha Weil (1980) dalam bukunya yang terkenal (Models of Teaching), mengemukakan empat kelompok atau rumpun model, yaitu model pemrosesan informasi (information processing models), model personal, model interaksi sosial, dan model tingkah laku (behavioral models). Setiap rumpun model tersebut mengandung enam komponen umum, yaitu orientasi, sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem bantuan (support system), dan efek instruksional.Apabila ditelaah lebih jauh, hakikat dan isi dari setiap strategi/pendekatan/model yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kutub strategi yang ekstrim, yaitu strategi yang berorientasi kepada guru dan strategi yang berorientasi kepada siswa. Strategi pertama maksudnya bahwa titik berat kegiatan banyak berpusat pada guru (biasa disebut model ekspositori atau model informasi). Sedangkan pada strategi kedua, titik berat aktivitas pembelajaran ada pada para siswa sehingga mereka lebih aktif melakukan kegiatan belajar (biasa disebut model inkuiri atau problem solving). Strategi mana yang digunakan atau dipilih biasanya diserahkan sepenuhnya kepada guru dengan mempertimbangkan hakikat tujuan, sifat bahan/isi, dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
4. Evaluasi
Komponen evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan, serta menilai proses implementasi kurikulum secara keseluruhan, termasuk juga menilai kegiatan evaluasi itu sendiri. Hasil dari kegiatan evaluasi dapat dijadikan sebagai umpan balik (feedback) untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan pengembangan komponen-komponen kurikulum. Pada akhirnya hasil evaluasi ini dapat berperan sebagai masukan bagi penentuan kebijakan-kebijakan dalam pengambilan keputusan kurikulum khususnya, dan pendidikan pada umumnya, baik bagi para pengembang kurikulum dan para pemegang kebijakan pendidikan, maupun bagi para pelaksana kurikulum pada tingkat lembaga pendidikan (seperti guru dan kepala sekolah).
Pada awal perkembangannya, konsep evaluasi banyak sekali dipengaruhi secara dominan oleh konsep pengukuran (measurement). Salah satunya adalah konsep yang dikemukakan oleh Ralph W. Tyler (1975). Ia mengungkapkan bahwa proses evaluasi merupakan proses yang sangat esensial guna mengetahui apakah tujuan (objectives) secara nyata telah terealisasikan. Sementara itu, Hilda Taba (1962) juga berpendapat bahwa secara prinsipil yang menjadi fokus dari evaluasi adalah tingkatan di mana siswa mencapai tujuan. Pengertian-pengertian evaluasi tersebut lebih diarahkan atau berorientasi kepada perubahan perilaku, dan lebih mementingkan hasil atau produk belajar, kurang memperhatikan proses dan kondisi-kondisi belajar yang mempengaruhi hasil belajar.
Menurut Hasan (1988), pengertian evaluasi seperti itu sudah dianggap tidak lagi memenuhi makna evaluasi yang sesungguhnya. Apa yang dikemukakan Tyler mengenai perubahan tingkah laku siswa hanyalah merupakan salah satu aspek kajian evaluasi, baik evaluasi pendidikan maupun evaluasi kurikulum. Perkembangan selanjutnya dari konsep evaluasi ini, menurut Hasan (1988), berpegang pada satu konsep dasar, yaitu adanya pertimbangan (judgement). Dengan pertimbangan inilah ditentukan nilai (worth/merit) dari sesuatu yang sedang dievaluasi. Tanpa pemberian pertimbangan bukanlah suatu kegiatan evaluasi. Dengan demikian, pengertian evaluasi harus diarahkan pada suatu proses pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti dari sesuatu yang dipertimbangkan. Sesuatu yang dipertimbangkan tersebut bisa berupa orang, benda, kegiatan, keadaan, atau suatu kesatuan tertentu. Pemberian pertimbangan tersebut haruslah berdasarkan kriteria tertentu, baik dari penilai itu sendiri maupun dari luar penilai. Dari pengertian tersebut, evaluasi lebih dianggap sebagai suatu proses, bukan suatu hasil (produk).Apabila diperhatikan, tampaknya konsep evaluasi sebagai suatu proses pemberian pertimbangan tentang nilai dan arti ini dalam pelaksanaannya masih belum terealisasikan sebagaimana mestinya. Kegiatan evaluasi yang dilaksanakan, terutama di Indonesia, masih menekankan pada evaluasi terhadap hasil (produk). Hal ini sejalan dengan pendapat Zais (1976) bahwa dewasa ini penekanan evaluasi selalu dipusatkan pada evaluasi hasil (product evaluation) yang dicapai oleh siswa. Menurutnya, hal tersebut didasarkan pada model teknik (technical model) dalam pengembangan kurikulum, di mana siswa dianggap sebagai raw material.
Konsep evaluasi kurikulum dapat dipandang secara luas, yaitu mencakup evaluasi terhadap seluruh komponen dan kegiatan pendidikan, tetapi dapat pula dibatasi secara sempit yang hanya ditekankan pada hasil-hasil atau perilaku yang dicapai siswa. Luas atau sempitnya suatu evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuannya. Jadi, dalam hal ini yang menjadi penentu adalah faktor tujuan yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald C. Doll (1974) yang menyatakan bahwa orientasi terhadap tujuan merupakan salah satu syarat atau karakteristik dari evaluasi.
Karakteristik lainnya, yaitu: dinyatakan dalam bentuk nilai-nilai (values and valuing), mencakup keseluruhan (comprehensiveness), berkelanjutan(continuity), memiliki nilai diagnostik dan kesahihan (diagnostic worth and validity) dan evaluasi tersebut harus terintegrasi atau utuh, bukan sesuatu yang lepas-lepas (integration).Pada bagian lainnya, Doll mengemukakan dua dimensi yang harus ada dalam evaluasi kurikulum, yaitu dimensi kuantitas (the dimension of quantity) dan dimensi kualitas (the dimension of quality). Dimensi pertama berhubungan dengan berapa banyak program-program yang dievaluasi, sedangkan dimensi kedua berhubungan dengan tujuan-tujuan apa saja yang disoroti dalam evaluasi dan bagaimana kualitas dari pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Kemudian, di dalam proses evaluasinya Doll mengungkapkan tiga variabel, yaitu variabel input (karakteristik siswa), variabel output (apa yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran), dan variabel treatment (metode mengajar, materi pelajaran, ukuran kelas, karakteristik siswa, dan karakteristik guru). Ketiga kelompok variabel tersebut saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif mengenai kualitas suatu kurikulum yang dievaluasi, terdapat beberapa komponen atau dimensi yang perlu dijadikan sasaran atau lingkup evaluasi. Sudjana dan Ibrahim (1989) dalam hal ini mengemukakan tiga komponen, yaitu komponen program pendidikan, komponen proses pelaksanaan, dan komponen hasil-hasil yang dicapai. Suatu program pendidikan dinilai dari tujuan yang ingin dicapai, isi program yang disajikan, strategi pembelajaran yang diterapkan, serta bahan-bahan ajar yang digunakan. Proses pelaksanaan yang dijadikan sasaran penilaian/evaluasi terutama proses pembelajaran yang berlangsung di lapangan. Sedangkan hasil-hasil yang dicapai mengacu pada pencapaian tujuan jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari paparan diatas, didapatkan permasalahan. Pada fungsi kurikulum dikatakan bahwa bagi orang tua kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya di rumah. Nah, apakah orang tua hanya sekedar diberitahu mengenai kurikulum tanpa ada penjelasan khusus mengenai isi dari kurikulum (misal K13), lalu apa solusi dari teman-teman agar penyampaian K13 ini bisa menyeluruh ke berbagai pihak? Karna jika yang megetahui kurikulum ini hanya siswa, guru dan sekolah kurikulum ini tidak akan efektif.. Dan dari penjelasan mengenai komponen kurikulum pada bagian tujuan, Tujuan harus tepat dan serasi, terutama harus dilihat dari kepentingan dan kemampuan peserta didik, termasuk latar belakang, minat, dan tingkat perkembangannya. Bagaimana cara kita membuat agar pola pikir siswa yang memiliki latar belakang dan minat yang banyak berbeda bisa sesuai dengan yang tujuan tersebut?.
Kurikulum berorientasi pada masa lampau maksudnya disini dilihat dari pengalaman siswa guru dan skolah dalam proses pembelajaran. Sehingga kurikulum bisa di kembangkan agar menjadi lebih baik.
BalasHapusDan untuk menentukan tujuan pun tidak bisa langsung mentukan saja. Harus melihat pengalaman yang sudah terjadi. Tentu banyak perbedaan terutama dalam karakter siswa sndiri. Nah disinilah sbagai pengembang kurikulum harus memikirkan tujuan yang bisa mengarahkan secara keseluruhan agr bisa mencapai target yg ingin di capai. Tujuannya harus mencakup smua konten. Dan bersifat fleksibel. Karena dri tujuan lah komponen2 yang lain ikut berjalan.
kalau begitu, yang merasakan pengalaman kan guru, siswa, dan orang tua. mengapa dalam menentukan tujuan dari kurikulum ini tidak melibatkan mereka secara langsung dalam penyusunannya? atau bagaimana cara kemendikbud memperkirakan bahwa suatu kurikulum tsb telah tercapai atau tidakv
HapusDalam penerapan tujuan kurikulum sebenarnya sudah melibatkan semua pihak yaitu dengan cara ikut merasakan dan mengerti keadaan siswa org tua dan guru dalam proses pembelajaran. Karena dalam menysuun kurikulum itu harus melakukan observasi atau pengamatan secara merata. Baik di lingkungan teknologi, sekolah, dan masyarakat. Jadi tidak harus mereka ikut menyusun sebuah tujuan kurikulum. Tetapi pengembanglah yang merasakan dan mngerti mereka
Hapussaya akan coba menjawab pertanyaan rina mengenai apa solusi dari teman-teman agar penyampaian K13 ini bisa menyeluruh ke berbagai pihak?
BalasHapusyakni dengan membangun komunikasi antara guru dan orang tua siswa sehingga kegiatan pembelajaran yang terjadi dirumah juga dpat mengembangkan thinking skill dari siswa itu sendiri, selain itu bisa dengan mengadakan rapat koordinasi antara orang tua siswa dan pihak sekolah sehingga orang tua pun tahu perannya dalam kegiatan belajar mengajar didalam sekolah, rumah maupun dilingkungan.
betul memang bahwa kita harus berkoordinasi dengan orang tua, namun kapan rapat iti akan dilaksanakan? sementara anak saja sudah harus bersekolah sampai jam 4. setelah itu, semua orang didalam sekolah juga capek dan ada hal yang harus di selesaikan. lalu, misal jika koordinasi telah dilakukan namun anak tetap tidak menunjukkan kompetensi yang diinginkan kurikulum apa saran anda yang harus kita lakukan terhadap si anak?
Hapussaat evaluasi belaajr siswa (akhir semester) atau dengan guru rutin menghubungi orang tua siswa atau sebaliknyna orang tua siswa ikut mengawasi perkembangan belajar siswa disekolah, jika hal ini telah dilakukan, tapi hasil yang ditunjukkan siswa belum mencapai kompetensi yang diharapkan, orang tua siswa bisa melaksanakan kegiatan belajar privat atau peer tutoring
Hapussaya setuju dengan dengan pendapat kk rini saya akan menanbahkan biasanya, sebelum aktis sekolah atau masa MPLS/MOS guru dan wali murid akan mengadakan pertemuan untuk membicarakan langkah pembelajaran beserta aturan yang ada di sekolah,
Hapusya saya juga sependapat dgn kk rini. dan untuk saudari tri, tetapi yang saya tahu pada saat MOS pihak sekolah hanya mengirimkan surat bahwa anak diikutsertakan dalam masa orientasi dan menurut pengalaman saya, orang tua saya tidak diundang dalam MOS tsb.
Hapusdengan dilaksanakannya berbagai pelatihan dan workshop bisa menjadi salah satu agar kurikulum 13 bisa tersosialisasi dengan baik. sekaligus memberi pengetahuan baru bagi tenaga kependidikan tentang kurikulum 2013. saya sependapat dengan saudari rini fajriani, membangun komunikasi antara guru dan orang tua siswa merupakan salah satu cara agar orang tua dirumah bisa mengasah si anak agar bisa mencapai tuntutan pembelajaran. sehingga orang tua pun tahu perannya dalam kegiatan belajar mengajar didalam sekolah, rumah maupun dilingkungan. sehingga orang tua bisa berperan dalam pembentukan peserta didik tersebut. tujuan dirumuskan sesuai dengan hasil evaluasi dari pengalaman guru dan sekolah dalam proses pembelajaran. ketercakupan semua elemen dan harus mampu merangkul semua minat dari siswa, bukankah dalam penyusunan tujuan kurikulum disesuaikan dengan keadaan lingkungan dan harus mencakup semua konten.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapusya benar bang. namun bagaimana cara kita bisa merangkul minat siswa yang begitu banyak agar minat nya itu terealisasikan di kehidupan nyata?
Hapusmenurut saya bisa dengan mengelompokkan minat dan bakat siswa. sehingga pembinaan lebih terarah. dengan mengaktifkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi salah satu ruang bagi siswa untuk mengaktualisasikan dirinya.
Hapusterimakasih atas tanggapannya dan saya juga setuju dengan pendapat bang dhani
Hapussaya sependapat dengan bang dhani, dengan permasalahannya yaitu apa solusi dari teman-teman agar penyampaian K13 ini bisa menyeluruh ke berbagai pihak?
Hapusmenurut saya dengan dilaksanakannya berbagai pelatihan dan workshop bisa menjadi salah satu agar kurikulum 13 bisa tersosialisasi dengan baik, dengan membangun komunikasi antara guru dan orang tua siswa sehingga kegiatan pembelajaran yang terjadi dirumah juga dapat mengembangkan thinking skill dari siswa itu sendiri, selain itu bisa dengan mengadakan rapat koordinasi antara orang tua siswa dan pihak sekolah sehingga orang tua pun tahu perannya dalam kegiatan belajar mengajar didalam sekolah, rumah maupun dilingkungan, sehingga orang tua bisa berperan dalam pembentukan peserta didik tersebut. tujuan dirumuskan sesuai dengan hasil evaluasi dari pengalaman guru dan sekolah dalam proses pembelajaran. ketercakupan semua elemen dan harus mampu merangkul semua minat dari siswa sehingga pembinaan lebih terarah, dengan mengaktifkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi salah satu ruang bagi siswa untuk mengaktualisasikan dirinya.
Menanggapi permasalahan yang rekan Rina munculkan berhubungan dengan diterapkannya kurikulum 2013 oleh pemerintah, adalah merupakan suatu hal yang bijaksana apabila kurikulum 2013 ini bukan hanya dititik beratkan pada guru selaku pendidik saja. Kepada siswa dan juga orang tua hendaknya hal ini disosialisasikan juga. namun kenyataannya, jarang ada sekolah yang melaksanakan kegiatan sosialisasi kurikulum 2013 khusus bagi orang tua. Kepada siswa, dalam roses kegiatan belajar mengajar secara tidak langsung sosialisasi telah terlaksana, yaitu dengan memaparkan KI dan KD yang akan dicapai, proses observasi dan penilaian serta skenario pembelajaran yang dilaksanakan pendidik. Benar pendapat Rini dan Dhani, orang tua sangat berperan dalam keberhasilan peserta didik. Karena agar tujuan utama pendidikan nasional dapat terlaksana dengan baik dan tercapai secara maksimal, peran tenaga pendidik, orang tua dan peserta didik itu sendiri saling berkaitan.
BalasHapusmenurut saya juga begitu kk, belum banyak sekolah yang berinisiatif untuk mengundang orang tua untuk ikut tahu mengenai k13 ini. lalu bagaimana cara kita agar informasi mengenai k13 ini sampai kepada orang tua siswa jika sosialisasi atau rapat tadi sulit untuk dilaksanakan?
Hapussaya juga sependapat dengan kak Nelly, untuk pertanyaan bagaimana cara kita agar informasi mengenai k13 ini sampai kepada orang tua siswa jika sosialisasi atau rapat tadi sulit untuk dilaksanakan?
HapusMenurut saya jika sosialisasi atau rapat tadi sulit untuk dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan (waktu, penyesuaian jadwal dsb) informasi mengenai k13 ini tetap bisa sampai kepada orang tua siswa melalui siswanya itu sendiri, disaat ada waktu luang keluarga kumpul sang anak dapat bercerita tentang keadaan sekolahnya termasuk tuntutan K13 yang ia jalani/dari orang tuanya yang menanyakan kepada anaknya tentang penerapn K13 itu sendiri. Ini merupakan salah satu cara karna siswalah yang menjadi penghubung paling dekat antara sekolah dan orangtuanya.
apakah kita harus menjelaskan komponen kurikulum kepada siswa juga?
HapusMenanggapi permasalahan yang kak rina mengenai hubungan dengan diterapkannya kurikulum 2013 oleh pemerintah, adalah merupakan suatu hal yang bijaksana apabila kurikulum 2013 ini bukan hanya dititik beratkan pada guru selaku pendidik saja. Kepada siswa dan juga orang tua hendaknya hal ini disosialisasikan juga. namun kenyataannya, jarang ada sekolah yang melaksanakan kegiatan sosialisasi kurikulum 2013 khusus bagi orang tua. Kepada siswa, dalam roses kegiatan belajar mengajar secara tidak langsung sosialisasi telah terlaksana, yaitu dengan memaparkan KI dan KD yang akan dicapai, proses observasi dan penilaian serta skenario pembelajaran yang dilaksanakan pendidik.
Hapusselanjutnya apakah kita harus menjelaskan komponen kurikulum kepada siswa juga? menurut saya tidak perlu karena seiring berjalannya waktu siswa akan mengerti sendiri tuntutan dari konponen kurikulum yang dibebankan kepadanya
Saya menanggapi permasalah rina tentang
BalasHapusTujuan harus tepat dan serasi, terutama harus dilihat dari kepentingan dan kemampuan peserta didik, termasuk latar belakang, minat, dan tingkat perkembangannya. Bagaimana cara kita membuat agar pola pikir siswa yang memiliki latar belakang dan minat yang banyak berbeda bisa sesuai dengan yang tujuan tersebut?.
Menurut saya perbedaan pola pikir bukan merupakan sesuatu hal yang dapat menghambat kita untuk melaksanakan suatu tujuan pembelajaran. Permasalahan dapat dihindari jika tujuan yang dibuat dapat kita komunikasikan dengan pendekatan yang baik melalui stretegi, metode dan teknik yang pas untuk mencapai tujuan tsb.
kalaupun lah memang strategi dan metode yang digunakan dapat mencapai tujuan pendidikan misalnya, tetapi banyak juga siswa yang tidak mengerti kenapa harus mengerjakan ini, kenapa harus dapat nilai segini. jika semua pelajaran bisa dapat nilai bagus kemana "passion" yang harus kupilih. jika seperti ini siswa akan kehilangan tujuan. nah solusi dari anda bagaimana?
HapusKurikulum 2013 menyajikan materi pelajaran yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan anak sehari-hari karena dalam pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik (scientific approach) sehingga pelajaran yang sudah di peroleh di sekolah akan berhasil jika bisa diterapkan di rumah dengan bimbingan orang tua. Contoh hal kecil yang merupakan penerapan dari Kurikulum 2013 yang dapat dilakukan di rumah bisa waktu sarapan anak diminta mengambilkan beberapa sendok, garpu, dan piring sejumlah angka yang orang tua perintahkan. Selain belajar berhitung anak dibiasakan melakukan hal yang positif seperti mengucapkan salam, terima kasih, dan minta maaf ketika melakukan salah. Di waktu senggang orang tua bisa menemani anak bermain yang dapat mengembangkan kreativitas anak. Masih banyak lagi contoh yang lain yang bisa dilakukan orang tua di rumah. Dari beberapa hal kecil tersebut sudah bisa tercapai tujuan Kurikulum 2013 baik secara kognitif, afektif, dan psikomotor .
BalasHapusSemoga semakin banyak orang tua yang menyadari bahwa pendidikan anak itu tidak hanya di sekitar sekolah namun lebih banyak membentuk pribadi anak justru di lingkungan rumah tempat tinggalnya. Oleh karena itu sangat diharapkan orang tua bisa bekerja sama dengan guru dalam mendidik anak dan ketika Kurikulum 2013 sudah berjalan akan lebih sempurna jika dalam evaluasi pembelajaran (assessment) juga melibatkan orang tua. Jadi, peran orang tua memang sangat penting untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam Kurikulum 2013 ini.
ya, sebagian besar saya sependapat dgn Anda. orang tua hanya mengetahui tujuan dasarnya saja dan tidak secara menyeluruj. bukankah jika hanya setengah-setengah tujuan tersebut juga tetap sulit untuk tercapai?
HapusSaya setuju dengan pendapat teman-teman sebelumnya, tentunya pihak sekolah sebaiknya mengundang orang tua siswa istilahnya untuk duduk bersama membahas mengenai kurikulum 2013 dan mengajak secara bersama-sama untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik karena secara kasarnya orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya dan berusaha untuk mewujudkan yang terbaik pula.
BalasHapusLalu cara menetapkan tujuan kurikulum berdasarkan latar belakang siswa yang berbeda-beda maka bisa dilakukan uji sampling dan dapat diambil siswa yang memiliki kemampuan diatas, standar dan dibawah rata-rata saya rasa itu cukup efektif untuk menentukan tujuan kurikulum
lalu jika nanti ditemukan ada beberapa siswa memiliki kemampuan dibawah rata-rata dalam sebuah kelas, bagaimana cara kita menyusun metode/strategi yang digunakan?
Hapussolusi dari agar penyampaian K13 ini bisa menyeluruh ke berbagai pihak tidak hanya siswa, guru dan sekolah tetapi orang tua juga harus di sosialisasikan dari awal bahwa dalam proses pembelajaran akan memakai kurikulum k13 dan di jelaskan bagaimana prosedur dalam k13 tersebut agar orang tua memahami dan dapat membantu ketercapaian tujuan proses pembelajaran itu. peran orang tua bisa dengan memberikan fasilitas saran dan prasara di rumah agar peserta didik lebih kreatif dan juga motivasi yang diberikan oleh orang tua dapat mempengaruhu hasil belajar dari peserta didik itu sendiri. orang tua juga dapat membimbing anaknya dan mengarahkan.
BalasHapusMenjawab permasalahan yang pertama yaitu penyampaikan k13 ke berbagai pihat, sudah pasti tentu dengan mengkomunikasikannya , baik itu kepada siswa ataupun orangvtua siswa dan masyarakat luas, untuk masyarakat luas tentu sudah umum diketahui bahwa memang siswa jaman now telah menggunakan k13 melalui media massa yangbditontonya karena saat perubahan kurikulum semua stasiun tv dan koran menurut saya sangat ring membahasnya, namun untk kedua orang tua siswa yg perlu jg terlibat aktif perlu jg penyampaian lebih lanjut, bisa dijelaskan saat pembagian rapor org tua berkumpul,atau dipanggil satu persatu di jam pelajaran siswa agar dapat melihat jyga perkembangan siswa di sekolah
BalasHapus